Bekasi, Buserfaktapendidikan com
Ketua Umum LSM Forkorindo (Forum Komunikasi Rakyat Indonesia), Tohom Sinaga, didampingi Timbul Sinaga, Sekjen LSM Forkorindo, Jumat pagi (19/7), mendatangi langsung Kantor KCD Wil. III, di Grandwisata, Kabupaten Bekasi. Kedatangannya ini, khusus untuk mempertanyakan, kapasitas Kepala KCD dalam menjawab surat.
Ia mengatakan, bahwa LSM Forkorindo mengirimkan surat ke Gubernur Jawa Barat, tapi yang menjawab surat mereka adalah Kepala KCD Wil. III, I Made Supriatna. “Kami, DPP LSM Forkorindo, mengirimkan surat resmi kepada Gubernur Jawa Barat, perihal dugaan adanya Mark-up anggaran dan anggaran dugaan fiktif di Kantor Cabang Dinas Pendidikan (KCD) Wilayah III. Dan surat kami tembuskan ke Inspektorat Provinsi, Kepala Dinas Pendidikan, dan Kepala KCD Wilayah III.
Anehnya, seharusnya, yang menjawab surat kami tersebut adalah Gubernur Jawa Barat, tapi ini, koq Kepala KCD, I Made Supriatna yang mengirimkan jawaban. Ini lucu. Apakah memang prosedur dalam menjawab surat dari pihak eksternal seperti ini? Makanya, kami datang langsung kesini, untuk menanyakan, apa kapasitas I Made Supriatna, dalam menjawab surat kami. Apakah dia mengatasnamakan Gubernur Jabar atau seperti apa,” jelas Tohom, di depan beberapa awak media. Tohom mengatakan bahwa KCD Wilayah III, diberikan mandat dan wewenang untuk mengelola dana BOPD (bantuan operasional pendidikan daerah) dalam meningkatkan kualitas pendidikan menengah di wilayah Kota dan Kabupaten Bekasi.
Dimana diketahui, ada 66 SMA Negeri, 30 SMK Negeri yang ada di lingkup kerja KCD Wilayah III. Dana BOPD yang jumlahnya tidak seberapa itu seharusnya, dikelola dengan efektif, efisien, transparan dan akuntabel oleh KCD Wilayah III, sehingga tujuan diluncurkannya BOPD oleh Pemerintah Provinsi Jabar dapat terwujud. “Pak Made, sebagai Kepala KCD III, seharusnya mengelola dana BOPD secara efektif, efisien, transparan dan akuntabel. Bukan malah merekayasa anggaran dan terindikasi adanya unsur kepentingan yang perlu diselidiki Gubernur dan Inspektorat,” jelas Tohom. Ketua Umum LSM Forkorindo itu.
Kemudian memperlihatkan sebundel berkas, yang disebutkan sebagai bukti adanya indikasi rekayasa dan dugaan Mark-up anggaran. Ia menjelaskan, ada sesuatu yang menggelitik dalam pengelolaan dana BOPD oleh KCD wilayah III. Pertama, terkait penggunaan pihak ketiga (Outsourcing) untuk penyediaan tenaga kebersihan dan tenaga keamanan.
“Dalam data yang kami peroleh, 2 perusahaan Outsourcing dipakai KCD wilayah III dalam penyediaan tenaga kebersihan dan keamanan, namun dalam RUP LKPP KCD WIL. III, kode RUP untuk 2 kegiatan itu sama. Ini aneh, yang kami ketahui dalam tiap kegiatan E-katalog, 1 RUP itu untuk 1 kegiatan dan 1 perusahaan. Nggak bisa tuh, 1 RUP, 2 Kegiatan dan 2 Perusahaan. Lalu untuk proses pencairan dananya seperti apa? Dan berdasarkan hasil investigasi kami, bahwa 2 perusahaan itu adalah perusahaan Outsourcing yang berdomisili di Bandung dan semua KCD, sebanyak 13 KCD menggunakan 2 perusahaan itu dalam penyediaan tenaga keamanan dan kebersihan. Ini ada apa?” ungkap Tohom.
“Anehnya lagi, ”lanjut Tohom,“ gaji untuk tenaga kebersihan dan keamanan itu dianggarkan KCD di kisaran angka Rp. 4,7 juta per bulan per orang, belum termasuk THR, gaji ke-13, dan jaminan asuransi, baik kesehatan dan ketenagakerjaan. Ini luar biasa. Sedangkan kita tahu sendiri, rata-rata staf TU sekarang disebut Kearsipan di semua SMAN-SMKN di Kota dan Kabupaten Bekasi hanya di kisaran angka Rp. 1,5 - Rp. 1,7 juta per orang per bulan.
Hal inilah yang membuat hampir semua sekolah, menjadikan minimnya gaji/honor pegawai TU sebagai alasan untuk melegalkan pungutan. Lalu, ada juga anggaran makan minum yang nilainya fantastis. Kemudian, masih dari E-katalog KCD wilayah III, kami menemukan keganjilan di mana KCD III mengalokasikan dana BOPD kepada 68 SMAN di wilayah KCD III, sedangkan realitanya, jumlah SMAN hanya sebanyak 66 satuan pendidikan, lalu 2 sekolah lagi dapat dari mana?
Ini jelas ada manipulasi. “Satu lagi yang perlu dicatat, selain untuk mempertanyakan kapasitas I Made Supriatna dalam menjawab surat kami ke Gubernur, kami juga khusus untuk melaporkan salah satu kepala sekolah, yang nyata-nyata bermoral rendah dan murahan (kalau tidak bisa mengatakan bermoral bejad—red). Kami, khususnya saya, yang juga sebagai orang tua murid di sekolah tersebut sangat jijik melihat perilaku kepala sekolah itu.
Bagaimana anak saya dan juga anak-anak lain, dididik dan dibina kepala sekolah yang bermoral rendahan. Karena perilaku kepala sekolah ini dikhawatirkan akan membawa pengaruh buruk kepada akhlak para pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah. Karena ada pepatah mengatakan, guru kencing berdiri, murid kencing berlari, ” ujar pria asli Tarutung ini.
“Jadi, bila pak Made, tidak bisa bersikap tegas kepada kepala sekolah itu, kalau perlu memberikan rekomendasi kepada kepala dinas dan gubernur untuk memecat kepala sekolah bermoral rendah itu, maka saya beranggapan diduga pak Made juga sama dengan dia, bermoral rendahan. Karena ada istilah, kucing hanya berteman dengan kucing,” sindir Tohom. (Red)